Sekali waktu aku penah pusing karena tidak memiliki baju dengan warna Lavender untuk mendatangi sebuah event. Saat itu dresscode dari acara tersebut adalah Lavender Blossom. Daripada bingung, aku langsung memesan tunik dengan warna keunguan di sebuah marketplace dan akhirnya bisa pergi ke event tersebut tanpa salah kostum.
Dan kejadian tersebut terjadi beberapa kali. Tidak memiliki baju dengan warna atau theme tertentu, lalu membeli yang baru tanpa berpikir panjang. Padahal aku tak peru membeli pakaian baru jika aku bisa memadu-padankan baju warna putih dengan scraft berwarna keungunan yang aku miliki. Namun, aku gengsi. Aku memilih membeli saja deh, daripada ribet!
Begitupun setelah memiliki anak. Terlebih anakku peremuan yang sangat gemes ya kalau dipakaikan baju lucu-lucu dan beraneka model. Aku pasti membelikan anakku Miona, baju baru sebulan beberapa kali. Baju-baju gemes itu aku pakaikan ke Miona, aku foto lalu aku posting ke social media untuk mendapatkan enggagement dari teman dan saudara.
Bak gayung bersambut, ternyata banyak juga online shop yang melirik Miona untuk menjadi modelnya. Online shop pun berlomba mengirimkan Miona baju-baju cantik, lucu dan menggemaskan untuk dipromosikan di akun Instagram Miona. Ada rasa bangga di dalam hatiku, anakku menjadi model cilik dan diperhitungkan keberadaannya oleh para pemilik online shop tersebut.
Lalu.. Ntah kenapa aku mulai merasa sesak dengan tumpukan baju dengan warna, model serta motif yang hampir mirip di lemari baju. Baju-baju itu memenuhi lemari dan sangat jarang aku gunakan. Bahkan ada yang hanya satu kali kugunakan, misalnya saat event pernikahan teman. Mau mendonasikan, kok masih belum rela. Mau disimpan tapi sumpek. Akhirnya aku menyortir tumpukan baju tersebut, mana yang masih bisa digunakan untuk sehari-hari, mana yang "nggak dulu deh" untuk digunakan dalam waktu dekat.
Miona pun demikian. Baju-bajunya yang satu lemari sendiri, banyak yang sudah kekecilan. Maklum ya, anak kecil cepat sekali tumbuhnya. Sehinga baju-baju kekecilan itupun harus aku sortir dan menyimpanya di gudang. Sayang kalau dibuang!
***
Hingga suatu waktu, aku merasa lelah harus tampil prima dan maksimal hanya demi konten. Ya, semua hal estetik yang ku lakukan memang bertujuan untuk konten, dan mendapatkan engagement semata. Cangkir-cangkir lucu, sendok estetik, tumpukan baju, sprei dan bedcover dengan segala warna menjadikanku budak konten.
Aku lelah, dan mulai menyortir apa-apa yang tidak kuperlukan untuk kuberikan pada yang lebih membutuhkan. Sebagian baju yang masih sangat layak dan bernilai tinggi aku jual. Sebagian lain aku donasikan untuk anak-anak di Mesjid dekat rumahku.
Aku mulai bergaya hidup minimalis. Aku mulai memikirkan barang-barang yang kubeli, apakah sepantas itu untuk dibeli? Ataukah aku hanya ingin saja? Hidup minimalis lebih membuatku terasa lebih tenang. Nggak terlalu memikirkan trend terbaru dan nggak membuat rumah terlihat sumpek dan penuh.
Hidup Minimalis untuk Menjaga Bumi
Selain tidak menumpuk barang-barang di lemari, hidup minimalis juga berpengaruh pada kesehatan bumi kita loh. Salah satunya dengan tidak menggunakan plastik kresek untuk kemasan saat berbelanja di minimarket. Aku lebih memilih mengguanakan totebag yang bisa digunakan berulang kali.
Sampah plastik selalu menjadi masalah utama dalam pencemaran lingkungan baik pencemaran tanah maupun laut. Sifat sampah plastik tidak mudah terurai, proses pengolahannya menimbulkan toksit dan bersifat karsinogenik, butuh waktu sampai ratusan tahun bila terurai secara alami. Meskipun tidak bisa langsung musuhan dengan plastik, tapi setidaknya aku tidak menyumbang plastik disaat berbelanja harian di minimarket.
Menggunakan Masker Kain
Di masa pandemi ini, penggunaan masker sudah bukan hal yang asing lagi. Setiap hari saat keluar rumah, sudah pasti masker menjadi andalan untuk memutus penyebaran virus Covid19 dari orang ke orang. Namun, masker medis yang mau tidak mau digunakan satu kali saja, ternyata juga menyumbang limbah yang membludak. Limbah masker yang tidak didaur ulang bukan hanya merusak alam, namun juga membunuh satwa yang berada di sungai dan lautan. Nahkan ada zat yang
Masker sekali pakai juga dapat menumpuk dan melepaskan zat kimia dan biologi berbahaya, seperti bisphenol A, logam berat, serta mikro-organisme patogen. Kandungan tersebut akan menimbulkan dampak negatif bagi tumbuhan, hewan, bahkan manusia.
Untuk itulah, aku pun mulai beralih ke masker kain dengan kualitas baik. Aku memastikan meskipun menggunakan masker kain, namun tetap mampu menangkal penyebaran virus dariku ke orang lain, dan sebaliknya. Akupun menggunakan sapu tangan sebagai lapisan dari masker kain agar aku semakin terproteksi.
***
Langkah kecil hidup minimalis, selain membuat hati dan jiwa semakin tenang juga berimbas baik untuk bumi. Karena aku yang merupakan#MudaMudiBumi #UntukmuBumiku #TimeforActionIndonesia sudah pasti akan ikut menjaga bumi untuk kebaikan anak dan cucuku nanti. Aku bersumpah untuk terus hidup minimalis untuk menjaga ketenangan hidup dan juga menjaga bumi.