Kesehatan mental berdampak sangat besar bagi kehidupan kita sehari-hari. Seseorang yang bermental sehat dapat menggunakan kemampuan atau potensi dirinya secara maksimal dalam menghadapi tantangan hidup, serta menjalin hubungan positif dengan orang lain.
Sebaliknya, orang yang kesehatan mentalnya terganggu akan mengalami gangguan suasana hati, kemampuan berpikir, serta kendali emosi yang pada akhirnya bisa mengarah pada perilaku buruk.
Maka dari itu penting sekali untuk "menjaga kewarasan" dengan melakukan hal-hal yang membuat suasana hati kita happy. Namun ada kalanya sesuatu terjadi diluar kendali kita, sehingga mengakibatkan perasaan emosi yang bergejolak, dan membuat mental sangat down.
Tiga tahun yang lalu, mungkin adalah tahun terberat yang aku lalui. Aku harus berpisah dengan seseorang yang aku sayangi, dengan cara yang sama sekali diluar kemampuanku. Bercerai bukanlah keinginanku. Sehingga seluruh rangkaian kehidupanku tiga tahun lalu sangat merusak jiwa dan ragaku kala itu.
Aku nggak tau harus seperti apa. Rasanya seperti melayang. Hidupku terasa mati, meskipun aku masih saja bernafas. Tangisan demi tangisan mewarnai hari-hariku. Bahkan aku berusaha untuk menyakiti tubuhku sendiri dengan benda tajam. Semua itu aku lakukan diluar kesadaranku. Aku seperti sakit, tapi sakit di jiwaku.
Hingga suatu hari, aku menghubungi seorang teman. Teman yang tidak begitu dekat, tapi kuharap dapat membantuku untuk meluapkan semua rasa didada. Temanku adalah seorang psikolog, namanya Dita. Dengan senang hati ia membantuku untuk mengeluarkan semua emosi yang kurasakan.
Dita memintaku untuk menuliskan daftar orang yang sangat aku benci. Dan juga menuliskan alasan aku membenci mereka. Dengan penuh uraian air mata, aku menuliskan sepuluh orang yang saat itu benar-benar menyakiti hatiku. Sepuluh orang itu jugalah yang membiarkanku dalam kondisi sakit tanpa pertolongan.
Setelah menuliskannya, hatiku terasa sedikit plong. Semua emosi yang tak tersampaikan akhirnya bisa ku keluarkan melalui tulisan. Aku tidak serta merta memaki, hanya saja aku menuliskan mengapa mereka tidak bersedia membantu mengeluarkanku dari masalah saat itu. Padahal mereka adalah orang-orang yang sangat mampu membantuku.
Setelah membaca semua isi tulisanku, Dita memintaku untuk memaafkan mereka. Aku diminta untuk membiarkan apa yang mereka lakukan, dengan memaafkan. Saat itu aku menolak mentah-mentah untuk memaafkan, karena hatiku memang sudah sangat hancur. Namun Dita mengingatkan, aku akan semakin hancur bila aku tidak memaafkan. Dan tidak akan mungkin sepuluh orang itu meminta maaf kepadaku lebih dulu. Jadi untuk apa aku menghancurkan diriku sendiri?
Setelah berbincang panjang lebar, akhirnya aku mengalah. Aku menarik nafas panjang dan mengucapkan dengan lantang bahwa aku memaafkan mereka. Seluruh kejadian yang menimpaku memang sudah diizinkan Tuhan, dan aku pasti mampu untuk melewatinya.
Sejak saat itu, aku tidak lagi merasa linglung. Aku pun mencari kegiatan yang bisa membuatku lupa dengan kejadian menyakitkan itu. Menjalani hobi dan membesarkan bisnis salah satunya. Sehingga auraku kembali ceria. Luka pun tertutup dengan sempurna.
Disaat itu pulalah seseorang yang baru hadir untuk menemaniku. Suamiku saat ini juga banyak memberikan nasihat yang dengan mudah kuterapkan sehari-hari. Sehinggga bayang-bayang masa lalu tidak lagi menghantui keseharianku saat ini.
***
Begitulah ceritaku tentang mengahadapi masalah yang menurutku sangat besar. Beban psikologi yang berat menurutku harus ditolong oleh orang yang tepat. Jika tidak ada kerabat yang dapat membantu, mungkin saja kita memang membutuhkan jasa seorang psikolog atau bahkan psikiater.
Jika merasa belum mampu bertatap muka dengan psikolog secara langsung, aku merekomendasikan untuk chat saja dengan psikolog melalui aplikasi Halodoc.
Melalui chat with doctor di Halodoc, kita bisa ngobrol dengan psikolog yang membuat kita merasa nyaman dalam bercerita dan mengeluarkan uneg-uneg tanpa judgement. Diharapkan setelah melepaskan semua keluh kesah kepada psikolog melalui aplikasi Halodoc, beban psikologi yang kita terima tidak seberat saat pertama kali merasakannya.
Tentu saja aku tidak ingin lagi berkonsultasi dengan psikolog, karena aku berharap kesehatan mental dan psikologiku terus membaik hari demi hari. Aku sudah memaafkan dan melupakan kejadian tiga tahun yang lalu agar tidak ada rasa kecewa yang mendalam.